Menurut Putri & Prima (2019) ada beberapa definisi sistem informasi kesehatan:
1. Sistem informasi kesehatan adalah prosedur yang dimulai dari
penghimpunan data, penggarapan data, pengkajian dan transfer informasi yang
diperlukan untuk mengelola dan mengendalikan yankes serta digunakan untuk
keperluan penelitian serta untuk pelatihan.
2. Sistem informasi kesehatan merupakan beberapa unsur dan langkah
yang terpola bertujuan untuk memproduksi informasi dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan tata laksana yankes pada masing-masing tahap sistem
kesehatan.
3. Sistem informasi kesehatan yakni suatu sistem yang tersusun atas data, informasi, parameter, langkah-langkah, peranti, teknologi, dan sumber daya manusia yang saling berhubungan dan dikendalikan secara sistematis sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang bermanfaat dalam mendukung pembangunan kesehatan, yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014 Tentang Sistem Informasi Kesehatan.
Menurut (Syafii et al., 2024) Sistem Informasi memiliki peran penting dalam berbagai bidang termasuk di bidang pelayanan kesehatan di berbagai pusat kesehatan masyarakat, yaitu:
Komponen sistem informasi kesehatan dalam proses keperawatan melibatkan beberapa elemen penting yang berfungsi untuk mendukung pengelolaan informasi kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan efisiensi dalam praktik keperawatan (Toth & Ingle 2021). Berikut adalah komponen-komponen utama dalam sistem informasi kesehatan dalam konteks keperawatan:
1.
Electronic Health
Records (EHR) atau Rekam Medis Elektronik
EHR adalah komponen utama yang menyimpan dan mengelola data medis pasien
secara digital. Hal ini memungkinkan perawat dan tenaga medis lainnya untuk
mengakses informasi pasien secara real-time dan memudahkan koordinasi antar
profesional kesehatan.
2.
Sistem Manajemen
Informasi Keperawatan (Nursing Information System)
Sistem ini mendukung perawat dalam mengelola data terkait dengan asuhan
keperawatan, termasuk penilaian pasien, rencana perawatan, dan evaluasi. Data
ini dapat diakses oleh seluruh tim kesehatan untuk mendukung pengambilan
keputusan klinis.
3. Sistem Pengambilan
Keputusan Klinis (Clinical Decision Support System - CDSS)
Sistem ini memberikan saran berbasis bukti untuk perawat dalam pengambilan
keputusan terkait perawatan pasien, termasuk identifikasi risiko, rekomendasi
terapi, dan pencegahan komplikasi.
4.
Telemedicine and Telehealth
Teknologi ini memungkinkan perawat untuk memberikan
layanan kesehatan dari jarak jauh, terutama di daerah yang sulit dijangkau.
Melalui video call, pesan teks, atau aplikasi mobile, perawat dapat memantau
kondisi pasien dan memberikan saran medis.
5.
Sistem Pengelolaan
Obat (Pharmacy Management Systems)
Sistem ini membantu dalam pengelolaan obat yang diberikan kepada pasien,
termasuk pemantauan dosis, interaksi obat, dan catatan penggunaan obat oleh
pasien.
6.
Sistem Pencatatan dan
Laporan Keperawatan
Pencatatan yang baik dan terorganisir sangat penting untuk
mendokumentasikan tindakan keperawatan dan perkembangan pasien. Sistem ini
mengelola semua laporan yang berkaitan dengan aktivitas keperawatan, hasil
observasi, dan tindakan yang diambil.
7.
Sistem Manajemen Data Kesehatan
Sistem ini mengelola
database informasi pasien, hasil laboratorium, pencitraan medis, dan data
lainnya yang mendukung perawatan dan diagnosis medis.
1.
HL7-FHIR (Fast
Healthcare Interoperability Resources)
Merupakan standar terkini yang dikembangkan
oleh Health Level Seven International untuk pertukaran dan interoperabilitas
data kesehatan. FHIR menggunakan fitur yang dikenal oleh pengembang sistem
informasi, seperti Application Programming Interface (API), untuk memungkinkan
pertukaran data lintas platform dan teknologi yang berbeda.
2.
ICD-10 (International
Classification of Diseases, 10th Revision)
Sistem klasifikasi penyakit yang
digunakan secara internasional untuk mencatat diagnosis dan prosedur medis.
Penggunaan ICD-10 memastikan konsistensi dalam pencatatan data kesehatan.
3.
SNOMED CT
(Systematized Nomenclature Of Medicine Clinical Terms)
Sistem terminologi klinis yang menyediakan kode untuk berbagai kondisi medis, prosedur, dan temuan klinis, mendukung interoperabilitas dengan menyediakan bahasa standar untuk informasi kesehatan.
Sedangkan menurut (Syefira, 2021) prinsip interoperabilitas yaitu:
1.
Standarisasi Data
Penggunaan format data yang konsisten dan standar memastikan bahwa
informasi dapat dipahami dan digunakan oleh berbagai sistem.
2.
Keamanan dan Privasi
Perlindungan data pasien adalah prioritas utama. Sistem harus memastikan
bahwa data ditransmisikan dan disimpan dengan aman, serta hanya diakses oleh
pihak yang berwenang.
3.
Skalabilitas
Sistem harus dirancang untuk dapat
berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan yang meningkat, memastikan
interoperabilitas tetap terjaga seiring dengan pertumbuhan organisasi atau
penambahan sistem baru.
4.
Fleksibilitas
Kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai
standar dan protokol memastikan bahwa sistem dapat berinteraksi dengan berbagai
platform dan teknologi yang berbeda.
1.
Kerumitan dan
kompleksitas sistem
Sistem informasi kesehatan yang kompleks dengan berbagai elemen seperti
hardware, software, dan data dapat menyulitkan implementasi standarisasi dan
interoperabilitas. Pengembangan dan implementasi sistem yang kompleks dapat
memakan waktu dan biaya yang cukup besar.
2.
Standar yang berbeda
Sistem informasi kesehatan dapat dikembangkan oleh berbagai vendor atau
penyedia layanan yang menerapkan standar yang berbeda-beda. Hal ini dapat
menyulitkan implementasi interoperabilitas antara sistem yang berbeda.
3.
Perubahan teknologi
Teknologi dalam sistem informasi kesehatan terus berkembang dan
mengalami perubahan. Hal ini dapat memengaruhi standarisasi dan
interoperabilitas antara sistem.
4.
Perubahan kebijakan
dan regulasi
Perubahan kebijakan dan regulasi yang terkait dengan sistem informasi
kesehatan dapat mempengaruhi implementasi standarisasi dan interoperabilitas.
Misalnya, jika regulasi berubah dan mengharuskan sistem untuk mematuhi standar
tertentu, maka perlu dilakukan perubahan dalam sistem untuk memenuhi
persyaratan baru tersebut.
5.
Keterbatasan anggaran
Implementasi standarisasi dan interoperabilitas dapat memakan biaya yang
cukup besar. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi organisasi atau lembaga
kesehatan dengan keterbatasan anggaran.
6.
Kurangnya kesadaran
dan dukungan pengguna
Pengguna sistem informasi kesehatan seperti dokter, perawat, dan tenaga
medis lainnya dapat kurang memahami pentingnya standarisasi dan
interoperabilitas. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya dukungan dan partisipasi
dari pengguna dalam implementasi standarisasi dan interoperabilitas.
7.
Masalah keamanan dan
privasi
Implementasi standarisasi
dan interoperabilitas dapat meningkatkan risiko keamanan dan privasi data
kesehatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memastikan bahwa
standar dan protokol yang digunakan memenuhi persyaratan keamanan dan privasi
yang diperlukan.
Referensi
Gunawan, A. (2023). Pengantar Sistem Informasi Kesehatan. In PT. Literasi Nusantara Abadi Grup.
Putri, I., & Prima. (2019). SISTEM INFORMASI KESEHATAN. Uwais Inspirasi Indonesia.
Riska Pradita, & Fitriana, S. M. (2024). Implementasi Standar Interoperabilitas HL7-FHIR Pada Pertukaran Rekam Kesehatan Elektronik di Puskesmas. Jurnal Ilmiah Perekam Dan Informasi Kesehatan Imelda (JIPIKI), 9(1), 20–30. https://doi.org/10.52943/jipiki.v9i1.1334
Syafii, S. I., Dewi, R., & Daengs, A. (2024). Peranan Sistem Informasi Dalam Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kedungdoro Surabaya. 3(2).
Syefira, S. (2021). Modul standarisasi dan interoperabilitas pertemuan 7 (online). 7.
Toth, M., & Ingle, S. (2021). Nursing Informatics for the Advanced Practice Nurse. Springer Publishing Company.